Syaikhul Islam berkata,
وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج
“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah- dari pada hak suami” (Majmuu’ Al-Fataawaa 32/260)
Ibnul Jauzi berkata,
«وينبغي للمرأة العاقلة إذا وجدت زوجًا صالحًا يلائمها أن تجتهد في مرضاته، وتجتنب كل ما يؤذيه، فإنها متى آذته أو تعرضت لما يكرهه أوجب ذلك ملالته، وبقي ذلك في نفسه، فربما وجد فرصته فتركها، أو آثر غيرها، فإنه قد يجد، وقد لا تجد هي، ومعلوم أن الملل للمستحسن قد يقع، فكيف للمكروه»
Seyogyanya seorang wanita yang berakal jika ia mendapatkan seorang suami yang sholeh yang cocok dengannya untuk bersungguh-sungguh berusaha untuk mencari keridoan suaminya dan menjauhi seluruh perkara yang menyakiti suaminya. Karena kapan saja ia menyakiti suaminya atau melakukan sesuatu yang dibenci suaminya maka akan membuat suaminya bosan dengannya, dan kebencian tersebut akan tersimpan di hati suaminya. Bisa jadi sang suami mendapatkan kesempatan maka sang suami akan meninggalkannya atau mengutamakan istrinya yang lain. Karena sang suami bisa jadi mendapatkan (istri yang baru) sedangkan ia belum tentu mendapatkan (suami yang baru). Padahal diketahui bersama bahwasanya rasa bosan itu bisa menimpa pada perkara yang baik, bagiamana lagi terhadap perkara yang dibenci” (Ahkaamun Nisaa’ li Ibnil Jauzi)
Imam Ahmad pernah berkata tentang istrinya Ummu Sholeh ‘Abbasah binti Al-Fadhl,
أقامت أم صالح معي ثلاثين سنة، فما اختلفت أنا وهي في كلمة.
“Ummu Sholeh tinggal bersamaku selama tiga puluh tahun, tidak pernah kami berselisih dalam satu permasalahanpun” (Taarikh Bagdaad 14/438)